Belajar Dan Berbagi Informasi Dunia Pelayaran

Kepemilikan Flag of Convenience, Berdayakan Perusahaan Pelayaran Nasional Oleh: Pieter Batti*)

Pangsa pasar usaha pelayaran, terutama kapal-kapal untuk mengangkut barang-barang impor, ekspor dan menunjang kegiatan usaha migas lepas pantai sebagian besar masih dikuasai oleh perusahaan pelayaran asing. Usaha Pemerintah untuk memberdayakan perusahaan pelayaran milik nasional sudah dilakukan sejak awal tahun 1970-an dengan menerbitkan beberapa kebijakan. Terakhir adalah Instruksi Presiden No 5/2005 dan UU No 17/2008 tentang Pelayaran.



Tujuan utamanya adalah agar perusahaan pelayaran nasional bisa bersaing, paling tidak menjadi pelaku utama mengangkut dan melayani ekspor impor barang-barang Pemerintah dan angkutan laut nasional maupun untuk penunjang kegiatan eksplorasi, eksploitasi sumber daya migas lepas pantai.



Dispensasi Syarat Bendera

Kebijakan Pemerintah yang dikeluarkan sejak awal tahun 1970-an, adalah membatasi izin penggunaan kapal berbendera asing dengan maksud untuk mendorong dan memberikan kesempatan kepada pengusaha pelayaran nasional memiliki kapal berbendera Indonesia dengan menerbitkan kebijakan dispensasi syarat bendera atas penggunaan kapal berbendera asing di perairan Indonesia. Perusahan nasional yang menyewa dan memasukkan kapal bendera asing untuk bekerja di dalam negeri terutama kapal-kapal penunjang kegiatan usaha migas lepas pantai wajib memperoleh izin dan dispensasi dengan berbagai persyaratan dari Departemen yang berkepentingan.



Sejak saat itu juga keikutsertaan Departemen yang merasa berkepentingan dengan tujuan tersebut mulai menjamur. Terjadilah drama perizinan secara berjemaah terhadap perusahan pelayaran nasional yang memasukkan kapal asing karena tidak ada kapal milik nasional (bendera Indonesia). Mulai dari urusan lalu lintas kapal, kepabeanan terhadap barang yang dibawa, impor sementara kapal itu karena dianggap lagi sebagai barang, dispensasi keimigrasian awak kapal yang akan melayani kapal itu bekerja dan sebagainya. Dikeluarkanlah kebijakan yang dimuat dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Menteri Pertambangan tahun 1980-an kemudian disusul dengan UU No 21/1992 tentang Pelayaran.



Salah satu contoh perizinan tambahan yang cukup merepotkan perusahaan pelayaran adalah peraturan kepabeanan (OB 23) yang menganggap kapal yang masuk keluar Indonesia selain dilayani sebagai kapal juga dilayani lagi sebagai barang dan harus ditaksir berat dan harganya untuk mendapatkan Izin Impor Sementara. Padahal, Indonesia sudah lama meratifikasi Konvensi untuk memudahkan aturan lalu lintas kapal antar negara (IMO FAL Convention 1965) dimana Bea Cukai sudah melakukan pemeriksaan bersama dengan instansi lain (CIQ) terhadap kapal yang masuk keluar perairan Indonesia.



Kerumitan perizinan ini ujung-ujungnya terjadi pungli (korupsi) berjemaah. Kalau pelaku usaha pelayaran menanyakan hal ini kepada Ditjen Perhubungan Laut sebagai pembina usaha pelayaran kenapa sampai demikian. Dijawab dengan enteng bahwa setiap Departemen berhak mengatur dan kami tidak bisa mengintervensi Departemen lain. Kebijakan perizinan seperti ini sudah berlangsung selama empat dekade. Namun, tujuan mulia untuk memberdayakan perusahaan pelayaran nasional tidak kunjung berhasil. Pangsa pasar tetap dikuasai perusahaan asing. Dan perusahaan pelayaran nasional masih sama, tetap terpuruk.



Karena kebijakan itu dirasakan kurang berhasil maka kemudian diterbitkanlah Inpres No 5/2005, lebih tegas lagi menyebutkan bahwa angkutan barang-barang dalam negeri maupun barang-barang impor dan ekspor yang dibiayai oleh APBN harus dilakukan oleh kapal milik perusahaan nasional yang berbendera Indonesia dan dikelaskan oleh Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). Drama perizinan dan ekses yang diakibatkannya secara berjemaah tetap saja berlanjut tapi kondisinya tidak berubah. Rentetan peraturan dan kebijakan dari semula tidak berhasil karena selalu mengingkari perubahan yang terjadi dengan memaksakan perusahaan pelayaran nasional untuk bersaing memperebutkan pasar dan memenuhi peraturan yang tidak sanggup mereka penuhi.



Peraturan Pemerintah seharusnya bisa memudahkan dan mendorong pengusaha berkembang dan mampu untuk bersaing dengan melihat pada kenyataan mengapa pangsa pasar pelayaran untuk ekspor, impor dan penunjang kegiatan lepas pantai yang menyerap dana begitu besar, masih dikuasi oleh perusahaan asing. Alhasil, pendapatan perusahaan pelayaran nasional jauh di bawah dari yang diperoleh oleh perusahaan pelayaran asing.



Anehnya Pemerintah tidak pernah melakukan kajian dan selalu tutup mata pada perubahan yang terjadi. Kesalahan selalu ditimpakan pada perusahaan pelayaran nasional, tidak berusaha memiliki kapal sendiri yang berbendera nasional dan hanya mau menggunakan kapal yang berbendera asing saja. Pemerintah selama puluhan tahun tetap yakin bahwa hanya dengan peraturan Dispensasi Syarat Bendera yang sudah ada sejak tahun 1970-an yang bisa mengangkat kemandirian dan kemajuan perusahaan pelayaran nasional.



Globalisasi Usaha Pelayaran

Keharusan penggunaan bendera nasional untuk kapal-kapal dagang berlayar internasional tidak sesuai lagi dengan semangat globalisasi perdagangan dunia. Sejak UNCLOS 1982 diterima sebagai Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dengan moto “States have the obligation to preserve and protect the Marine Environment”, maka lingkungan laut perlu dilestarikan dan dilindungi bersama, menggunakan instrumen peraturan yang disetujui bersama. Sejak itu konvensi-konvensi International Maritime Organization (IMO) menjadi penting.



Usaha pelayaran dengan sendirinya berubah menjadi usaha internasional memerlukan standar peraturan yang sama supaya bisa bersaing dengan baik dan terhindar dari subjektivitas birokrasi peraturan nasional dimana pengusaha itu berasal. Kelaiklautan kapal-kapal niaga diminta mengikuti peraturan Internasional (IMO Conventions) yang sudah diratifikasi bersama dengan menggunakan kemudahan-kemudahan yang telah disediakan untuk itu.



Kemudahan dimaksud adalah kapal-kapal niaga internasional milik pengusaha nasional dimana saja boleh menggunakan bendera negara kemudahan (flag of convenience state). PBB menunjuk negara-negara kecil seperti Vanuatu, Panama, Liberia, Honduras, Belise dsb. Karena negara-negara itu hampir tidak punya kepentingan pada transportasi laut seperti halnya negara-negara industri besar lainnya.



Kapal berbendera asing (di luar negara kemudahan). Umpamanya berbendera negara-negara industri maju Amerika Serikat, Inggris atau Japan, peraturan kelaiklautannya terutama untuk keselamatan, perlindungan lingkungan, pengawakan dan tingkat kesejahteraan awak kapalnya harus memenuhi peraturan yang berlaku di negara asing tersebut. Peraturan itu cukup berat untuk dipenuhi oleh kapal-kapal niaga ocean going termasuk kapal yang digunakan bekerja di lepas pantai dan berpindah-pindah antar negara.



Dengan cara demikian persaingan transportasi laut lebih terbuka karena menggunakan standar peraturan kelaiklautan yang sama, bebas dari subjektivitas peraturan masing-masing negara industri yang berkepentingan dan bersaing menyediakan kapal yang aman untuk digunakan, peduli pada kelestarian lingkungan dimana kapal itu melakukan kegiatan. Terbuka pula kesempatan pada pelaku usaha pelayaran mendapatkan kepercayaan memperoleh dana dari luar untuk membangun dan memelihara kapal itu.



Dengan tidak adanya keharusan kapal-kapal milik nasional berbendera Indonesia, industri maritim dalam negeri berpeluang mendapatkan pesanan membangun dan memperbaiki kapal-kapal milik nasional atau milik asing yang berbendera kemudahan.



Penggunaan bendera negara kemudahan telah berlangsung cukup lama dan melahirkan kerja sama internasional, mengatur dan memeriksa kelaiklautan kapal milik perusahaan nasional mana saja, menggunakan regulasi yang sama. Kontrol kelaiklautan kapal menggunakan standar peraturan yang sama. Kapal-kapal berbendera negara kemudahan dibangun dan dikontrol menggunakan IMO Conventions yang berlaku dan didelegasikan penuh pada Biro Klasifikasi yang diakui oleh negara bendera mengkelaskan kapal tersebut. Pemeriksaan di pelabuhan (Port State Control) juga demikian, minimum menggunakan peraturan yang sama dan bisa lebih dari itu berdasarkan pertimbangan kelestarian lingkungan perairan dari negara pelabuhan yang dikunjungi oleh kapal itu sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan Konvensi-Konvensi IMO.



Namun demikian peraturan kemudahan ini tidak pernah di muat dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Indonesia untuk dimanfaatkan malahan kapal yang berbendera diluar bendera Nasional dianggap sebagai kapal asing yang harus dilarang penggunaannya di Indonesia.



UU No 17/2008

Undang-undang ini dibuat untuk memperbaiki UU No 21/1992 dan Inpres No 5/2005, dengan maksud menyesuaikannya dengan perkembangan baru dan semangat meningkatkan daya saing perusahaan pelayaran milik nasional. Tujuannya baik tetapi tetap dengan cara yang sama karena tidak sesuai dengan tuntutan globalisasi usaha pelayaran. Malahan status quo lebih ditegaskan lagi dalam UU No 17/2008 Bab V bahwa “Angkutan di Perairan dalam negeri dan luar negeri oleh Perusahaan Pelayaran Nasional harus menggunakan kapal berbendera Indonesia”.



Di satu pihak, Pemerintah menerima UNCLOS 1982 dan Konvensi-konvensi IMO mengenai kelaiklautan kapal diratifikasi sebagai standar Internasional yang digunakan bersama dalam rangka globalisasi perdagangan dunia. Namun, di pihak lain, Pemerintah masih menganggap instrumen untuk bisa bersaing dengan baik menggunakan bendera negara kemudahan tidak diterima dan tetap dianggap sama dengan bendera negara asing lainnya, yang harus dilarang digunakan di Indonesia. Pemerintah belum menyadari bahwa maksud dan tujuan penggunaan bendera kemudahan adalah untuk kepentingan pengusaha nasional melakukan persaingan usaha secara global. Peraturan dan cara pandang demikian jelas tidak bisa memberdayakan perusahan pelayaran nasional kita untuk mampu bersaing dengan perusahaan pelayaran milik asing yang sejak semula menggunakan fasilitas untuk memiliki kapal berbendera kemudahan.



Kapal-kapal yang masuk keluar Indonesia selama ini membawa barang/penumpang dan bekerja di lepas pantai Indonesia umumnya berbendera negara kemudahan. Kapal-kapal itu tidak berarti milik warga negara bendera kemudahan (Belise, Vanuatu, Liberia, Panama, Honduras dsb), tetapi hampir 100 persen milik pengusaha besar dari negara-negara industri maju (Eropa, USA, Jepang, Singapura, Hong Kong dsb) dan tidak tertutup kemungkinan ada dari kapal-kapal itu milik pengusaha nasional indonesia yang hengkang dan berdomisili di luar negeri. Mengapa Pemerintah melarang pengusaha nasional kita di dalam negeri, melakukan hal yang sama?



Mengharuskan kapal-kapal milik perusahaan nasional, ocean going dan penunjang kegiatan usaha migas di lepas pantai berbendera nasional dan kelas BKI dimana survey kelaiklautannya harus dilakukan oleh Syahbandar dan BKI jelas kurang dipercaya oleh investor asing, menghambat mobilitas dan penerimaan kapal-kapal itu berkunjung dan bekerja di negara lain. Pemilik modal dari luar tidak akan bersedia membiayai pembangunan atau pemeliharaan kapal-kapal itu.



Pelaku usaha pelayaran ini seharusnya dibiarkan untuk membangun memiliki dan menyewa kapal-kapal berbendera kemudahan supaya bebas berlayar dan diterima bekerja dimana saja. Modal dari luar akan tertarik masuk mendukung perkembangan daya saing perusahaan pelayaran nasional dan industri maritim di dalam negeri.



Kapal milik pengusaha nasional berbendera Negara kemudahan, awak kapal diatur sendiri oleh pemilik kapal (pengusaha Indonesia), menggunakan tenaga Indonesia asalkan standar kompetensi, keterampilan dan kebugaran yang dimuat dalam STCW-95 IMO, ILO Conventions, terampil menggunakan alat-alat keselamatan, lindungan linkungan yang terpasang di atas kapal dan memperoleh akreditas dari Konsul atau perwakilan negara-negara kemudahan yang ada di Indonesia. Pemeliharaan kapal dapat dilakukan di dalam negeri. Demikian juga dengan pajak perusahaan milik nasional pemiliki kapal langsung masuk ke kas negara. Pendapatan kapal langsung diterima oleh pemilik pengusaha nasional, sehingga dapat membuka lapangan kerja untuk tenaga kerja Indonesia.



Karena itu kalau Pemerintah ingin memberdayakan perusahaan pelayaran nasional, mampu bersaing dengan perusahaan asing, maka mereka harus diberikan kebebasan, memiliki kapal-kapal ocean going dan penunjang kegiatan migas lepas pantai berbendera Kemudahan (Convenient Flags). Asosiasi pelayaran nasional hendaknya memohon pada Pemerintah supaya para anggotanya dibolehkan untuk memanfaatkan kemudahan yang disediakan oleh PBB/IMO ini.


Kebijakan Pemerintah terakhir. Tanpa koordinasi dengan Departemen lain dan mendengarkan pendapat dari pelaku usaha bidang pelayaran yang lain (IOSA), Menteri Perhubungan menerbitkan KM 71 tahun 2006 tentang Pengangkutan Barang/Muatan antar Pelabuhan laut di Dalam Negeri tetapi dimasukkan juga kegiatan penunjang usaha hulu dan hilir minyak dan gas bumi. Peraturan ini dikenal dengan nama “Road Map”, menjadwalkan batas waktu pelaksanaan Inpres No 5/2005 khususnya penerapan asas cabotage secara konsekuen sesuai jenis muatan yang akan diangkut.



Pada Pasal 3 butir n disebutkan: Pengangkutan penunjang kegiatan usaha hulu dan hilir migas, dilaksanakan selambat-lambatnya 1 Januari 2011. Kemudian entah dengan alasan apa mundur sampai 7 Mei 2011.



Angkutan penunjang kegiatan hulu migas lepas pantai dari semula hampir semua menggunakan kapal-kapal domestik berbendera Indonesia. Tujuan dari peraturan ini adalah penggunaan kapal-kapal tertentu atau kapal-kapal khusus melakukan kegiatan usaha hulu migas di lepas pantai seperti Seismic Vessels, Drilling Vessels, Anchor Handling Vessels dan sebagainya, bukan untuk mengangkut tetapi melakukan pekerjaan khusus. Setelah kontraknya habis di Indonesia, segera pindah ke luar negeri mencari pekerjaan baru.



Kalau “Road Map” itu dipaksakan bahwa kapal-kapal tertentu itu harus berbendera Indonesia, akan berdampak serius pada usaha migas lepas pantai Indonesia. Kapal-kapal tertentu ini jauh lebih mahal harganya, akan sangat berat bagi pengusaha nasional yang sanggup membangun dan memiliki tanpa bantuan dana dari luar. Pengusaha internasional belum ada yang bersedia membangun kapal-kapal berbendera Indonesia. Dengan alasan ekonomis, kelaiklautan dan mobilitas kapal tidak terjamin dapat diterima tanpa hambatan di mana-mana. Karena itu untuk amannya berusaha, mereka lebih memilih menggunakan Bendera Negara kemudahan.



Alasan penundaan selama tiga tahun peraturan dalam butir c konsep “Perubahan Atas UU No 17/2008 tentang Pelayaran” untuk kapal-kapal penunjang kegiatan usaha hulu migas, karena belum dapat disediakan sepenuhnya, membuktikan bahwa peraturan tersebut tidak bisa dipaksakan berjalan.



Kesimpulan

Prinsip bahwa kapal milik perusahaan nasional untuk pelayaran internasional dan kapal-kapal tertentu (khusus) yang digunakan menunjang usaha migas lepas pantai harus berbendera Indonesia, melawan arus perubahan yang melanda dunia pelayaran internasional. Perusahaan pelayaran nasional baru bisa berkembang kalau pelaku usaha nasional diberikan kebebasan untuk memiliki kapal-kapal jenis-jenis itu berbendera Kemudahan (Convenient Flag). Harus dibedakan antara Kapal berbendera asing negara kemudahan, dengan kapal yang berbendera Asing, bukan negara kemudahan.



Perubahan dengan konsep yang hanya menunda rencana “Road Map” tiga tahun lagi untuk penunjang kegiatan usaha hulu migas, tetap tidak akan berhasil karena melawan arus perubahan globalisasi perdagangan dunia. Untuk memanfaatkan fasilitas kapal-kapal milik berbendera negara kemudahan belum diterima dan masih dianggap sama dengan kapal berbendera asing lainnya, yang harus dilarang dimiliki dan dioperasikan oleh pengusaha nasional di Indonesia.



Pengusaha pelayaran nasional yang tidak bisa menerima peraturan ini pindah domisili ke luar negeri supaya bebas mengembangkan dan mengoperasikan armadanya. Penundaan ini pula dengan sendirinya memperpanjang pemberlakuan peraturan Dispensasi Syarat Bendera dan peraturan perizinan lainnya yang melahirkan pungli (korupsi) berjemaah dimana-mana.



Wilayah Indonesia lebih dari 70 persen adalah laut. Industri lepas pantai makin berkembang dan bervariasi, membutuhkan berbagai jenis kapal-kapal tertentu (khusus) sebagai alat dan penunjang kegiatan yang dilakukan. Kapal-kapal ini didesain, digunakan dan dioperasikan melakukan kegiatan di lepas pantai, tidak sama dengan kapal-kapal pengangkut barang dan manusia antar pulau dan antar pelabuhan seperti yang di muat dalam UU Pelayaran. Sudah waktunya peraturan dan pembinaannya dibuat tersendiri supaya arah pembinaan dan pengembangannya dapat dilakuan dengan baik.



*Pensiunan Pertamina, 1998

Tenaga Ahli Indonesian Offshore Shipping

Association (IOSA) dan pengajar pendidikan Perusahaan Pengerahan Tenaga Pelaut
di ambil dari : hukum online

Tags :

Related : Kepemilikan Flag of Convenience, Berdayakan Perusahaan Pelayaran Nasional Oleh: Pieter Batti*)

0 komentarmu:

Post a Comment

Tata Tertib Berkomentar :

* Tidak boleh mencantumkan link apapun ke dalam komentar.
* No SARA
* Tidak menggunakan kata yang menyinggung perasaan orang lain
* Silahkan Utarakan Pertanyaan Yang ada hubungannya dengan Postingan atau pertanyaan Umum Masuk ke Contact Form