Belajar Dan Berbagi Informasi Dunia Pelayaran

Surat Seorang Pelaut Kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Kembalikan Karakter Bangsa Indonesia 
Kepada Matra: "DI LAUT KITA JAYA"



Maruta Jaya 900-BPPT VS Clipper Dykstra-Belanda

Rp. 8 Milyar VS Rp. 800 Milyar

Jika kita membuka kembali lembaran sejarah Nasional Indonesia, acapkali kita menemukan  betapa bersemangat dan menggelegarnya Ir. Soekarno, presiden RI pertama, yang  akrab disapa  Bung Karno itu, ketika beliau berpidato membangkitkan pentingnya PEMBINAAN MENTAL dan KARAKTER BANGSA.

Mengapa bahkan hingga kini pun, pembinaan mental dan karakter bangsa tetap relevan? Karena ia adalah fondasi utama bagi sebuah bangsa. Apalagi  bagi para pemuda/pemudi yang berada di sebuah Negara yang baru saja merdeka dan masih sangat rentan. Inilah  pesan  utama yang tiada henti dikumandangkan Bung Karno dalam setiap pidato sang “penyambung lidah rakyat” itu pada berbagai kesempatan. 

Demikian pula oleh presiden kita saat ini, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, yang tentunya merasa kecewa melihat hingar bingarnya perkelahian  karena perbedaan antar suku, budaya dan agama. Berita-berita para koruptor yang tidak ada jeranya melahap dengan sangat serakah apa saja yang bisa dikorupsi, padahal uang itu seharusnya dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.yang meskipun telah 66 tahun merdeka masih banyak yang hidup dalam kesengsaraan  dan terbelakang pendidikannya.

Kemudian, apakah sekarang ini anjuran-anjuran tersebut telah terlaksana dengan baik, efisien dan efektif? Bermacam-macam kegiatan yang berbasis pembinaan mental dan karakter, seperti kepramukaan, out bound, dan lainnya, jelas perlu dirancang lebih baik lagi. Apalagi kita, yang mengaku  sebagai bangsa maritim seharusnya juga memanfaatkan lautan sebagai wahana pelatihan tersebut.

Kegiatan ini di negara manapun bukanlah usaha bisnis yang menguntungkan karena sifatnya charity atau kegiatan sosial nirlaba. Jadi, seyogyanya yang bertanggung jawab adalah pemerintah dengan dukungan  alokasi pendanaan (diantaranya) yang berasal dari program CSR (Corporate Social Responsibility). Dengan kata lain,  para pengusaha kaya di negeri ini mengembalikan sebagian kecil dari keuntungan yang  mereka peroleh  ke dalam bentuk pengembangan pembinaan nasionalisme. Namun sayangnya, kegiatan yang mulia yang hasilnya tidak terlihat secara nyata dan langsung itu,  hampir-hampir mustahil bisa  dilaksanakan.  Apalagi jika selalu dihadapkan dengan pihak-pihak yang hanya berpikir secara pragmatis, seperti: " Apa untungnya kegiatan itu? Mana bagian buat saya? Dan seterusnya,"


Laut sebagai Pemersatu Bangsa

Pada akhir masa perang dunia ke-2, banyak negara di Amerika Serikat, Eropa dan juga Jepang yang merasa trauma akan munculnya kembali generasi baru “Neo Nazi, Neo Fascisme” yang akan kembali menghancurleburkan negara-negara yang baru saja selesai berseteru.

Para pemimpin negara tersebut berupaya dengan keras bagaimana mempersatukan kembali pemahaman sosial generasi muda, dengan cara sebanyak mungkin membawa mereka ke laut dengan berbagai kegiatan pertukaran pemuda di atas kapal layar latih (Tall Ship).

Demikian pula di Indonesia. TNI-AL sejak awal berdirinya telah menyiapkan kapal layar latih KRI Dewarutji sebagai kapal latih yang digunakan bagi pembinaan mental dan karakter para kadet Pelaut. Mengapa harus kapal layar? Apakah harus kembali ke zaman baheula? Kenapa tidak pakai alat canggih Simulator saja, untuk apa harus ber panas-panasan dan bermabuk laut?

Jawabannya adalah “Tidak”, karena Simulator saja tidak mendidik Mental dan Karakter maupun akselerasi seseorang dalam menghadapi setiap perubahan kondisi alam yang sebenarnya. Dan kita tidak hanya mendidik untuk mahir bernavigasi dengan alat Sextant, Radar, GPS atau ahli bongkar pasang Diesel Generator, sebab yang diutamakan adalah pembinaan Budi Pekerti dan Etikanya.   

Kapal Layar Latih adalah suatu simbol KERJASAMA, DISIPLIN, KEPEDULIAN dan KESETIAAN SOSIAL  untuk saling menghormati dan hidup saling membantu karena LAUT  adalah  alternatif “ruang kelas terbaik” yang akan menjauhkan para pemuda-pemudi dari sifat-sifat egois, apatis, arogan, anarkis dan segala sifat buruk turunannya.


Militer-Sipil, Kuantitas atau Kualitas?

KRI Dewarutji telah 58 tahun mendarma baktikan dirinya menggembleng para kadet-kadet Akademi Angkatan Laut, untuk menjadi perwira TNI-AL yang tangguh dan bermartabat.

Kini para pimpinan di jajaran TNI-AL tengah bersiap-siap mencari pengganti KRI. Dewa Ruci yang sudah uzur, namun tentu saja harus menyiapkan sejumlah anggaran yang tidak kecil bahkan bisa mencapai ratusan milyar yang diperoleh dari pajak masyarakat. Namun, berapa persenkah jumlah Kadet  AAL dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta itu? Tentu kita harus “merelakan” segala biaya yang muncul, apabila nantinya secara nyata akan menghasilkan perwira-perwira yang handal untuk menjaga kedaulatan maritim kita.

Bagaimana dengan puluhan juta pemuda warga sipil lainnya? Haruskah mereka hanya menjadi penonton saja tanpa mendapat kesempatan untuk bisa mengenal, memahami dan  mencintai laut beserta segala isi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya? Pada sudut pandang inilah perlu adanya "political will” dari pemerintah. Benarkah salah satu kendala yang menghambat upaya mengenal laut itu karena minim/ketiadaan  sarana “kapal”nya?

Sebetulnya kegiatan ini telah bertahun-tahun ada di dalam program-program di berbagai Departemen dan Kementerian dengan anggaran biaya milyaran rupiah. Namun karena sarana kapalnya belum ada, maka pilihannya adalah menggunakan (sarana yang ada seperti) kapal-kapal  PELNI atau kapal perang TNI-AL.

Dapat dibayangkan bila ratusan pemuda / pelajar dijejalkan di kapal-kapal tersebut dengan segala keterbatasannya, karena keberadaan mereka di atas kapal perang atau kapal penumpang akan berimbas pada Kerahasiaan/Keamananan dan Keselamatan/kenyamanan para penumpang  umum.
 
Maka nuansa yang lahir dari  kegiatan seperti ini hanyalah sebuah retorika seremonial yang lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Masih jauh dari target pembinaan yang ingin dicapai.

Maka, seyogyanya selama mereka berada di laut berikanlah kegiatan-kegiatan yang justru  menyatu dengan kegiatan yang ada selama kapal itu berlayar.


Asset Negara yang terabaikan dan Dilupakan

Ironisnya“ kapal layar” itu telah ada sejak bertahun-tahun yang lalu, yang dirancang oleh para insinyur perkapalan kita sendiri dan diberi nama “Maruta Jaya 900”. Kapal itu, telah dibangun pada  era BJ. Habibie sebagai MenRisTek yang kemudian menjadi Presiden RI ke-3.

Bila ada sedikit kemauan berkreativitas dan tanggung jawab moral bahwa kita yang hidup saat ini  tidak ingin mewariskan generasi penerus yang vulgar, maka kapal yang katanya hemat energi itu, dapat dengan mudah untuk dimodifikasi dengan biaya hanya 1% dari harga sebuah Barquentin atau Clipper buatan Dykstra/Belanda atau buatan Spanyol maupun Polandia.

Namun sayangnya sampai saat ini, belum ada perhatian terhadap Maruta Jaya-900. Apalagi sebagai “kapal kargo” yang hemat energi, maruta telah ditolak untuk masuk di jajaran proyek kapal Perintis. Begitu pula, ketika beroperasi sebagai “kapal ekskavasi artefak bawah air” kegiatan itupun telah “ditutup” oleh PANNAS BMKT Departemen Kelautan karena menunggu Undang-Undang yang baru  akan dibuat oleh DPR, karena  kekhawatiran atas kemungkinan adanya teguran dari UNESCO. Artefak yang pada awalnya dapat dimanfaatkan dengan baik untuk kepentingan Pendidikan, Sosial Budaya maupun Ekonomi itu, dalam lima tahun terakhir ini telah menjadi benang kusut arogansi  kekuasaan antar departemen terkait.

Tanpa kita disadari -- dari sejak dulu hingga kini-- telah terdapat ratusan kapal yang karam dengan menenggelamkan segala muatannya yang kini bernilai sanagat tinggi, namun tetap dibiarkan teronggok di dasar laut menanti ditemukan! Malah diantaranya, kini telah menjadi sasaran pencurian dengan ekskavasi illegal.


Harapan yang buram

Maruta Jaya-900, kapal layar bertiang tiga itu, kini telah lebih dari satu tahun teronggok dipelabuhan Tanjung  Priok.  Ia tidak bisa beroperasi secara mandiri karena celah usahanya telah mengalami jalan buntu.

Saya, yang telah menghabiskan lebih dari separuh usia  untuk berkiprah di  sektor kelautan, hingga kini  merasa yakin kapal tersebut masih dapat dimanfaatkan sebagai kapal layar latih untuk pembinaan mental dan karakter bangsa bagi generasi muda warga sipil, melalui matra laut selayaknya KRI Dewa Ruci.

Jika di negara-negara lain  kita mengenal kapal-kapal layar seperti: Eagle (USA), Shedov (Rusia), Orsa Magiore (Italia,) Kaiyo Maru dan Akogare (Jepang) yang benar-benar dipergunakan dalam pembinaan mental dan karakter bangsa dalam arti sesungguhnya dengan mengarungi samudera maha luas, bahkan dengan motto yang tidak jauh berbeda yakni  ”Cita-cita Akal Budi, Berani Jujur Guna Bhakti” seperti halnya motto yang diemban KRI Dewa Ruci, yang belum lama ini mengharumkan nama bangsa dan negara di dunia Internasional. Namun usia Dewa Ruci yang sudah 58 tahun, kini terbilang sudah sangat renta dan menunggu regenerasi.


Saya juga akan menjadi salah seorang warganegara Indonesia, yang akan sangat kecewa dan prihatin bila Maruta Jaya-900 yang dirintis pada era Bapak Habibie sebagai prototype kapal hemat BBM  itu, tidak segera dimanfaatkan oleh Pemerintah. Hingga menunggu waktunya saja, bahwa yang masih bisa kita saksikan dari kapal itu hanyalah pucuk tiang-tiangnya saja, karena habis dipreteli oleh banyaknya pencuri yang berkeliaran di perairan pelabuhan Tanjung Priok.

(Gita Ardjakusuma, Pelaut Indonesia)
http://semyhavid.blogspot.com/2011/03/surat-dari-seorang-pelaut-kepada.html

Tags :

Related : Surat Seorang Pelaut Kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

0 komentarmu:

Post a Comment

Tata Tertib Berkomentar :

* Tidak boleh mencantumkan link apapun ke dalam komentar.
* No SARA
* Tidak menggunakan kata yang menyinggung perasaan orang lain
* Silahkan Utarakan Pertanyaan Yang ada hubungannya dengan Postingan atau pertanyaan Umum Masuk ke Contact Form